Minggu, 06 Juni 2010
Seberapa Gayuskah Kita???
“Men willingly believe what they wish.”
Gaius Julius Caesar, penakluk dunia dan emperor Roma yang mahsyur itu, mengatakan ini dalam kompilasi tulisan tangannya bertajuk Commentarii De Bello Gallico, Commentaries on the Gallic War. Sebuah memoar pribadi apa yang dilihat, dipikirkan dan dirasa, dibalik perang sembilan tahun melawan orang-orang Galia. Secara bebas quote diatas dapat diterjemahkan menjadi: “Manusia sangat mempercayai apa yang menjadi harapannya atau apa yang diyakininya.” Namun kritikus menguraikannya menjadi makna yang lebih mendalam dari sekedar bernuansa optimistis seperti tadi. Tanpa melihat apakah hal itu halal atau haram, apakah benar atau salah, jika manusia benar – benar setuju akan sebuah ide, mereka juga akan benar – benar mempercayainya dan berjuang hingga hal itu terwujud. Mungkin inilah juga yang menjadi pangkal tolak tekad membalikkan nasib, seorang Gaius lain yang hidup lebih dari dua ribu tahun setelah Caesar dibantai 60 anggota senat di Forum, termasuk anak angkat kesayangannya, Brutus. Pada malam – malam yang gerah dibawah nanungan atap rumah seluas lapangan bulutangkis, di dalam kamarnya yang sempit dan pengap Gayus Halomoan Tambunan muda berjanji pada dirinya sendiri, “Saya harus keluar dari kemelaratan ini!” Dan begitulah, anak muda asal gang sempit dibilangan Warakas, Jakarta Utara itu, mulai menantang hidup. Otaknya yang encer memungkinkannya masuk sekolah plat merah favorit bebas biaya STAN. Diploma pajak pun menjadi pilihan dan kemudian membuatnya menjadi salah satu pegawai Direktorat Jendral Pajak.
Sebenarnya jika bersabar dan bersyukur saja, nasib sudah bermuka manis terhadap Gayus. Terakhir, take home pay yang dikantonginya mencapai 12 juta lebih. Penghasilan itu relatif lumayan, jika mau diperbandingkan dengan rata – rata penghasilan para lulusan D3 di pasar kerja sekarang – sekarang ini. Tetapi tidak, Gayus tidak mau berhenti. Tujuannya adalah To The Extreme ! Menjadi sangat kaya. Jadilah Gayus lalu bermain gila dengan jabatannya. Posisi sebagai penelaah keberatan dan banding di Kantor Ditjen Pajak Pusat memungkinkannya berkolusi dengan pihak – pihak yang tidak ikhlas membayar sebagian uang yang diperoleh dari hasil usaha, untuk memakmurkan bangsa ini. Gayus yang gelap mata, terus menerus bersimbiosis dengan wajib pajak nakal, sehingga sengketa antara wajib pajak dan Ditjen Pajak kerap dimenangkan oleh wajib pajak. Dari semua praktek nista itulah, Gayus diduga mendapatkan seluruh kemilau dunia yang dimilikinya. Rumah mentereng dikawasan elit Kelapa Gading yang minimal berharga 3 miliar, mobil – mobil mewahnya, bahkan diduga dia juga punya properti di Singapura. Wew…!
Tetapikan terlalu naif, jika kita hanya menunjuk hidung ke Gayus seorang. Bagaimana mungkin pegawai golongan III-A bisa bebas bermain patgulipat seperti itu sendirian? Apa tidak ada yang mengawasi dan berkordinasi dengannya? Mustahil itu bisa terjadi jika tidak didukung lingkungan dan sistem kerja yang ‘kondusif’. Jadi sesungguhnya, bukan hanya moral yang rusak, tapi sistem yang tidak beres juga jadi penyebab. Pola pengawasan yang tidak ketat, atau sengaja tidak dibuat efektif jangan – jangan justru memotivasi individu–individu yang ada didalamnya berbuat lancung, baik dengan kesadaran bulat, atau terpaksa. Apakah karena alasan everybody does it, so why dont i, atau karena menghindari intimidasi kolektif-profesional. Maka jadilah kelancungan dilakukan bersama – sama. Jika sudah begini, rasa bersalah sebagai filter moral untuk berhenti korupsi, terima suap atau gratifikasi akan terus menipis. Menjadi sejahtera sekali seperti Gayus karenanya, menjadi hasil akhir yang hampir pasti.
Setelah Gayus, muncul nama Bahasyim Assifie. Semuanya dimulai dari kecurigaan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), karena Bahasyim punya pundi – pundi yang totalnya mencapai Rp 64 miliar. Kekayaan mantan Kepala Kantor Pemeriksaan Jakarta VII Direktorat Jenderal Pajak, yang kemudian menjadi Inspektur Bidang Kinerja dan Kelembagaan Bappenas tersebut, diduga berasal dari gratifikasi yang diberikan wajib pajak. Uang sebesar 64 miliar rupiah itu dibelah dalam tiga rekening. Rekening istrinya berisi Rp35 miliar dan satu juta Dolar Amerika Serikat, sementara dua putrinya, masing – masing Rp19 miliar dan Rp2,1 miliar. Benar atau tidaknya tentu pengadilanlah yang kelak membuktikan. Sampai saat ini, Bahasyim mengaku uang tersebut adalah hasil jerih payah dalam berbagai usaha yang dimilikinya. Diantaranya perusahaan perikanan yang dimilikinya di Tapos dan bisnis jual beli tanah. Modus yang diduga dilakukan Bahasjim, kurang lebih sama dengan Gayus. Uang yang diperoleh dari aksi patgulipatnya disimpan direkening – rekening orang terdekat.
Apakah selain lingkungan kerja yang kondusif menyuburkan praktek percaloan itu, keluarga memberikan dukungan terhadap pelaksanaan upaya lancung para petugas pajak untuk mempertebal kocek pribadi mereka? Ini logika saya saja, sang istri adalah orang terdekat. Semestinya tahu dari mana asal uang yang didapat sang suaminya. Begitu juga dengan anak – anak yang tinggal seatap. Yang justru mengkhawatirkan, jangan – jangan lingkungan rumah tangga juga memberikan motivasi signifikan. Lagi – lagi saya tidak mau menuduh siapa – siapa, hanya menganalisis berbagai fakta yang ada diatas meja. Karenanya maafkan, jika seolah – olah kesannya melompat kekesimpulan. Tapi jika ya, maka lengkaplah sudah unsur – unsur godaan itu.
Show Me The Money !
Teriakan Cuba Gooding Jr. yang memerankan Rod Tidwell kepada Jerry Maguire (dibintangi Tom Cruise) Show Me The Money ! selalu membuat saya tersenyum, walau sudah menyaksikan adegan itu berulang – ulang. Mau diakui atau tidak, uang adalah alasan sekaligus motivasi yang paling kuat mengapa sebagian besar dari kita rela mengorbankan waktu, keringat, perasaan bahkan jiwa, dalam menjalani hidup bahkan dengan cara – cara yang tidak masuk akal sekalipun. Apalagi hari ini, kita tinggal didunia yang sangat mengagungkan materi. “We are spirits in the material world” kata The Police. Jadi terkadang, tiada lagi kontemplasi, memeras esensi kehidupan, untuk mencari alasan filosofis dibalik rutinitas yang kita jalani saban hari. Untuk apa kita bangun setiap pagi, bergerak sampai jauh malam, dan kemudian terkapar tidur kelelahan. Semua berujung pada tanya : “Berapa jumlah uang di kantong kita?“ Iya kan Bang Iwan……
Jika sudah bicara tentang Show Me The Money ! susah rasanya untuk mengukurnya. Cukup adalah kondisi yang nisbi. Tetapi katanya manusia tidak akan pernah puas dengan apa yang sudah digenggamnya. Mitos PNS yang dulu dikatakan bergaji minim, sedikit demi sedikit harus sudah mulai direformasi kini. Pemerintah ngebut melakukan penyesuaian penghasilan para pegawai negeri sipil, untuk menjaga tingkat kejujuran mereka untuk tidak mencoleng uang negara dan fokus melaksanakan kerja, melupakan proyek – proyek untuk uang tambahan. Tahun ini ada sedikitnya ada lima lembaga yang akan mendapatkan kucuran dana tunjangan tambahan buat para personilnya, yakni Kejaksaan, Kepolisian, BPKP, BKN, dan TNI. Tahun lalu, tiga lembaga sudah menerimanya terlebih dahulu, termasuk lembaga payung kantor Gayus, Kementerian Keuangan. Konon, sebelum ada remunerasi pun di markas bendahara negara ini, gaji pegawainya relatif lebih tinggi dibanding lembaga – lembaga pemerintah lain. Tahun lalu, Kemenkeu menjadi lembaga pertama dari tiga lembaga negara (dua lainnya Mahkamah Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan) yang tersentuh program remunerasi. Tunjangan khusus yang sengaja dikeluarkan untuk membuat para civil servant kita lebih tahan godaan duit ini pula, yang membuat Gayus bisa membawa pulang uang Rp12 juta perbulannya. Angka remunerasi itu Rp8,2 juta sendiri. Sekali lagi, niatan negara mengeluarkan tunjangan yang besarnya jauh melebihi gaji pokok itu, adalah agar iman pegawai – pegawai yang sangat dekat dengan hasutan besar untuk korupsi seperti Gayus bisa tetap teguh. Toh, sejauh ini kita melihat kebijakan itu tidak efektif buat Gayus. Alasannya untuk me-makelar-kan diri pun bukan lagi untuk memenuhi hajat hidup dasar, tapi keserakahan. Jadi buat orang – orang seperti Gayus, sesungguhnya berapapun kompensasi dari kerja yang diterima secara legal tidak akan pernah cukup, bukan? Patah sudah alasan yang kerap kali digunakan, bahwa karena gaji kecil PNS akan melakukan fraud.
Selama ini banyak yang menuduh, kaum tua korup, sementara anak – anak muda yang lahir setelah era 60-an memiliki semangat yang lebih reformis. Karena itu wacana potong satu generasi, sehingga kaum muda yang bersih dan dinamis serta anti status quo lebih pantas memimpin bangsa ini, kerap berkumandang. Faktanya usia Gayus tak lebih dari 30 tahun. Kalau kita percaya ia hanyalah tip of the iceberg maka masih banyakkah anak muda yang bermentalitas sama seperti Gayus? Realitasnya, tingkat konsumerisme dikalangan muda mengila akhir – akhir ini. Menjamurnya mall dan selaksa kafe, resto, club, hang out spot, menjadikan anak – anak muda Indonesia penuh dengan hasrat spending yang besar. Mudahnya memiliki kartu kredit, memberikan peluang lebih lagi. Kebutuhan yang begitu beraneka, jelas membutuhkan Tidak, tidak, saya tidak bermaksud mengeneralisasi dan gebyah uyah semaunya. Saya hanya hendak berbagi keresahan. Harapan kita tentu tidak demikian. Tapi jika saya ada pada posisi Gayus, dengan kuasa yang sama dengan yang dimilikinya, dengan kesempatan yang sama pula, tidakkah saya akan melakukan hal yang sama? Atau malah lebih parah dari yang sudah diperbuatnya?
Gayus dan Kita
Gayus bukanlah sekedar potret buram para pegawai pajak. Gayus adalah potret kita semua. Bahkan lewat Gayus kita terpanggil untuk berkaca dan mengintrospeksi diri. Gayus adalah sosok perjuangan orang – orang kecil yang berani menggapai mimpi. Gayus adalah wujud kita yang tekun menapaki jalur terjal kehidupan, sabar dan setia pada cita – cita. Gayus adalah penjelmaan jiwa – jiwa muda yang optimis dan punya tujuan yang pasti. Sayang, lari Gayus begitu kencang, sehingga tidak berhenti pada saat mana ia harus berhenti. Gayus tidak setia pada lintasan yang seharusnya ditempuh dengan sabar dan doa. Godaan potong kompas begitu menggiurkan untuk tiba pada tujuan secepat mungkin, meski tujuan itu sesungguhnya sangat semu karena satuannya adalah rupiah.
Mei ini kita merayakan 12 tahun tegaknya era reformasi. Terbitnya matahari harapan Indonesia baru yang pada tahun 1998 lalu diperjuangkan oleh elemen – elemen pro-demokrasi, sebagai bentuk pemberontakan Orde Baru yang korup dan represif. Dimasa ini 12 tahun lalu kita berjanji, bahwa kehidupan akan menjadi lebih baik. Lalu kini, 12 tahun kemudian, kita masih disini. Tidakkah kita bertanya dalam hati masing – masing, mengapa tetap ada korupsi? Mengapa kolusi bukan lagi barang antik, tetapi mudah kita temukan dalam tayangan televisi, berita radio atau artikel dikoran. Pada sisi penegakan hukum kita juga berteriak keras. Bagaimana mungkin hal – hal busuk ini dapat diberantas, jika para penjaga garda kebajikan saling menyalahkan satu sama lain? Sikap defensiv menjadi mengemuka, dan semerbak nama korps masing – masing lebih dipentingkan, ketimbang melaksanakan kinerja substantif dan bekerjasama? Mengapa polisi dan KPK masih seperti kucing – kucingan. Mengapa anggota DPR kemudian adem ayem, padahal kasus skandal Century yang menyita energi bangsa ini, sesungguhnya belum rampung. Mengapa masih saja ada wakil rakyat yang terkait kasus suap, korupsi dan lain sebagainya ? Kemudian barangkali kita mulai mengangkat telunjuk kita untuk mencari siapa biang keladinya. Siapa yang dapat kita jadikan muara atas masih banyaknya hal – hal yang belum tuntas di negeri ini. Orang – orang macam Gayus? Bahasjim?
Pertanyaannya hakiki dari semua keadaan yang kita alami kini sesungguhnya adalah seberapa Gayus-kah kita. Ya, seberapa besar kita sendiri ingin semua perbaikan dan perubahan yang permanen. Apakah kita sudah memiliki cita – cita yang sama, dalam perjalanan Republik ini mencapai tujuannya. Atau kita masih menyimpan agenda kita sendiri. Yang pada akhirnya, jika kesempatan itu tiba untuk menguntungkan diri sendiri, jika wahana untuk memperkaya diri peribadi dan keluarga itu ada didepan mata, kita juga akan melakukan hal yang sama dengan orang atau lembaga yang kita rutuki selama ini? Ahh…saya ingin memulai dengan bertanya kepada diri saya sendiri, sembari berkaca pada cermin.
(Artikel ini di terbitkan pada majalah Rolling Stone Indonesia edisi Mei 2010)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
:14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21
:22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29
:30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37
:38 :39 :40 :41
:42 :43 :44 :45
Posting Komentar